Pages

 

Sunday, April 24, 2011

Bohong Menghilangkan Sombong

0 komentar
Aku berangkat sekolah dengan sepeda motor. Teman-temanku berangkat dengan mobil meraka yang bersih mengkilat. Hampir saja aku masuk got gara-gara mereka sembarangan menyetir. Sampai di sekolah aku langsung naik ke gedung berlantai lima. Rasanya lemas sekali setelah mencapai lantai empat gedung ini. Aku menuju ke sebuah ruangan di sebelah tangga. Nikita dan Clara tampak asyik bercerita sambil duduk di kursi lorong kelas. Nikita berdiri dan menghampiriku.

“Heh, udah mandi belum sih? Udah baju kumuh wajah kusam lagi. Niat sekolah nggak sih?” Nikita berbicara dengan nada tinggi. Aku menjawabnya, “udah kok.” Aku ingin segera masuk kelas. Aku mencoba melangkahkan kakiku. Nikita menarik lengan bajuku dengan sangat kencang. “Eh, lihat nih hp baru gue! Lo tau harganya berapa? Uang jajan lo tiga tahun nggak cukup kali! Lo lihat nih isinya! Ini cermin buat ngaca, lo lihat muka lo kayak gimana?” Dia memanasiku, sungguh aku merasa tertekan. Dengan tidak tega, aku menarik kedua tangannya dan aku dorong dia ke belakang. Tiba-tiba Clara berdiri, berjalan cepat ke arahku dan membalas mendorongku.

“Heh, beraninya cuman sama cewek, lo mau dikroyok?” Aku mencoba berkata lembut, “sorry, aku nggak ada urusan sama kalian berdua, simpan tenaga kalian buat belajar yang rajin.” Clara masih saja membentakku, “dasar miskin! Sok rajin lagi! Mau kemana lo? Awas lo kabur!” Aku tak menghiraukan mereka. Aku segera masuk kelas.

Ah, tidak. Andra menghadangku dengan tangannya di depan pintu. Aku terpental. Jam tangan putih mengkilat aku lihat di pergelangan tangan kanannya yang menghadangku tadi. “Lo mau ngrusak jam tangan gue? Mau ganti pakai apa lo?” Andra membentakku. Tak kusangka Kevin mendekat. Dia menarikku, mengangkat dan mencekik leherku. Tubuhku dihempaskan ke tembok ruang kelas. Seisi kelas melihatku. Kevin mengancam, “lo mau gue ceburin ke got bareng sepeda brisik lo itu? Atau mau gue tabrak langsung sama mobil gue?” Nada bicaranya semakin tinggi. Aku pasrah. Tubuhku lemas dan nafasku tersengal.

Tiba-tiba bel masuk berbunyi. Aku selamat. Semua siswa masuk ke kelas masing-masing. Lima menit kemudian Pak Dony masuk kelas. Jam pelajaran pertama Biologi. Pak Dony membagi semua siswa menjadi kelompok-kelompok. Tugas diberikan. Masing-masing kelompok terdiri dari enam orang. Tugas harus dikumpulkan besok. Kelompokku Nikita, Andra, Clara, Zahra, dan Kevin. Aku sedikit senang, karena seorang gadis jelita ada dalam kelompokku, Zahra. Anggota kelompok yang lainnya sangat menyebalkan.

Pak Dony keluar dari ruang kelas. Kevin dan Andra mendekatiku, disusul Clara dan Nikita. Kevin berbicara, “kita semua sepakat, bakalan datang ke rumah lo entar sore. Gue bakal jemput semuanya pakai mobil gue. Lo tinggal kasih tau alamatnya aja.” Aduh, ini gawat. Aku mencoba menolak, tapi mereka membantah tidak terima. Setelah memaksaku, aku berikan secarik kertas bertuliskan alamat sebuah rumah di desa kecil, di pelosok kota Yogyakarta. Andra angkat bicara, “inget, kesuksesan kelompok kita ada di tangan lo. Kalau sampai lo nggak mau di perintah, awas lo!” Aku diam saja. Hanya bisa mengikhlaskan. Tunggu dulu, dimana Zahra? Dia tidak ikut berkumpul.

“Kalau itu biar gue yang ngurus.” Clara menjawab saat aku tanya soal Zahra. Ketika bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas pulang. Di perjalanan menuju rumah, aku telfon Paman Atang. Aku bilang akan datang bersama lima teman sekelasku, kira-kira jam setengah empat sore. Paman mengiyakan. Paman beserta istrinya Bi Sumi akan bersiap-siap.

Aku sudah sampai jam tiga sore. Aku duduk di teras rumah. Lemas sekali badanku, tapi aku harus tetap semangat. Dari depan gerbang rumah aku melihat seorang perempuan dengan jilbab biru muda. Di bahunya menggantung tas ransel coklat. Wajahnya sangat manis. Tidak salah lagi, itu Zahra. Aku buka pintu gerbang dan mengajak Zahra masuk ke dalam rumah. Sejak dulu, aku tidak pernah berani menyapanya, hanya memuja dari belakang. Dan baru kali ini dia tersenyum kepadaku. Saat senyumnya merekah, hatiku terbang. Sungguh damai hati ini. Kedekatan ini tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku panggil Paman Atang dan Bi Sumi untuk bertemu Zahra. Sebelumnya aku peringatkan Paman dan Bibi.

“Saya ayahnya Deny, panggil saja Pak Danu. Ini istri saya Bu Dewi.” Paman memulai pembicaraan dengan tenang. Aku terus memperhatikan gerak-gerik Paman dan Bibi. Ketika mereka menatapku, aku tersenyum ringan. Mereka telah melakukannya dengan baik. Beberapa menit kemudian teman-temanku yang lain datang dengan mobil Avanza hitam milik Kevin.

“Sial, ini mah kampung paling plosok di jogja, kumuh banget!” Andra angkat bicara. “Kita itu udah muter-muter tau! Coba gue nggak bawa mobil, mampus kita. Ini kumuh banget! Mau ngerjain tugas dimana? Tempat sampah?” Kevin melabrakku. Mungkin mereka semua tidak puas. Kali ini Clara angkat bicara, “heh, apaan nih? Lo mau ngerjain kita apa? Gue tonjok lo!” Nadanya langsung meninggi. Aku surut. Nikita tidak bisa diam, “dasar orang miskin. Jangan-jangan selama ini lo nggak kuat bayar uang sekolah ya? Punya apa lo?” Hatiku sakit, mereka terus menekanku. Bahkan mereka tidak peduli dengan Paman dan Bibi.

Zahra muncul dari dalam rumah. Dia memintaku mengantarnya ke toilet tadi sesaat sebelum teman-teman yang lain datang. Kelompok segera menggarap tugas. Aku pasang laptop di depanku. Semuanya melakukan hal yang sama. Empat puluh lima menit berlangsung. Tugas hampir selesai. Clara melabrakku lagi, “heh, lo ketik ini semua, sekalian lo siapin presentasinya!” Aku mengangguk. Andra dan Kevin sekarang menatap game di layar laptop mereka. Clara dan Nikita memutuskan untuk keluar rumah setelah mencela ini dan itu. Zahra masih duduk di depanku. Dia masih mengetik, tapi wajahnya sudah mulai lelah.

“Istirahat dulu aja!” Aku mencoba prihatin. “Sedikit lagi,” matanya menatap erat layar laptop, “…nah, selesai.” Aku lihat dia mulai meregangkan otot-otot jemarinya. Tapi aneh, tiba-tiba saja dia tampak gelisah. Wajahnya sangat khawatir. “Astaghfirullah, cincinku hilang!” teriak Zahra. “lo, kok bisa? Jatuh kali?” Andra menyahut dan melirik Zahra sambil terus memainkan laptop. Kevin tak peduli. Aku menenangkannya. Perkiraanku cincin itu terjatuh saat dia kembali dari toilet. Tapi, semua kemungkinan bisa terjadi. Aku berdiri dan mengajaknya mencari cincin ke dalam rumah. Aku hanya meminta bantuan Paman Atang dan Bi Sumi, karena aku yakin bahwa teman-temanku yang lain tidak akan membantu.

Aku berjalan sambil merunduk dan sesekali jongkok. Badanku semakin lemas. Sudah tujuh menit kami mencari dan akhirnya aku melihat sebuah cahaya berkilauan di bawah sebuah lemari di dapur. Paman menyerahkan tongkat kayu kepadaku. Cincin itu aku ambil dengan tongkat. Dapat. Aku segera berdiri. Tapi, kepalaku pusing. Badanku lunglai. Apakah aku sakit? Aku berpegangan pada lemari untuk bisa berdiri. Semangatku kembali ketika Zahra tersenyum. Pesona wajahnya memang tidak pernah redup.

Tak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba lantai rumah bergetar. Lemari yang aku pegang, dinding tembok, dan langit-langit rumah juga bergetar. Semakin lama semakin keras. Ada apa ini? Aku mulai takut. Badanku tambah panas dan kepalaku pusing sekali. Benda-benda di atas meja dan lemari berjatuhan. Bibi berteriak ketakutan. Zahra menangis sambil mengucapkan istighfar berkali-kali, dia sangat ketakutan. Aku lihat Paman menarik Bibi keluar rumah, menuju pekarangan belakang. Paman berteriak kepadaku agar menolong Zahra dan cepat keluar dari dalam rumah.

Aku menarik tangan Zahra. Kami berlari secepatnya menuju pekarangan belakang rumah. Hanya tiga detik dan tiga langkah saja, terdengar suara runtuhan. Aku dan Zahra menoleh ke belakang. Langit-langit dapur telah runtuh. Kami selamat. Sampai di luar, aku minta tolong kepada Paman untuk menjaga Zahra. Sepertinya ini adalah gempa bumi yang sangat besar. Aku berlari untuk mencari teman-temanku yang lain. Mereka harus selamat.

Setelah beberapa kali gempa susulan terjadi, suasana mulai tenang. Gempa benar-benar berhenti. Paman membawa semuanya ke rumah sakit terdekat yang masih digunakan. Kevin, Andra dan Nikita pingsan. Darah bercucuran dari kepala mereka. Kaki Kevin dan Clara patah. Clara juga mengalami luka pada tangannya. Sejak tadi dia terus mengerang kesakitan, sementara aku menenangkannya dan mencoba mengobati lukanya. Aku sendiri mengalami beberapa goresan di bagian tubuhku. Aku mencoba menahannya. Hanya Zahra yang tidak mengalami luka-luka. Tapi, aku lihat dia terus menangis, dia masih ketakutan.

Kami pergi ke rumah sakit dengan menggunakan mobil Kevin. Tak lupa sebelum berangkat aku kumpulkan barang-barang milik teman-temanku. Ternyata tidak ada yang rusak. Aku juga membawa barang-barang berharga lainnya. Hari telah malam ketika kami sampai di rumah sakit. Pusing yang menyerang kepala sejak tadi seperti palu besar yang terus memukuliku. Aku telah berjuang mati-matian untuk menolong teman-temanku. Luka-luka di tubuhku terasa sangat sakit sekali.

Dokter dan perawat telah menangani semua temanku dengan baik. Semuanya kini telah sadar, meskipun keadaan mereka belum begitu baik. Aku minta dokter untuk mengobati luka-luka di tubuhku saja. Aku masih bisa berdiri. Aku sudah mengembalikan semua barang-barang milik teman-temanku, hanya tinggal Zahra. Tentunya mereka semua mencela dan menghinaku. Mereka menyalahkanku karena telah mengajak ke desa yang sering tertimpa bencana gempa bumi. Tapi, Clara hanya diam. Dia tidak memarahiku. Tidak seperti biasanya. Aku hanya minta maaf dan mencoba menenangkan mereka.

Aku menghampiri Zahra. Dia sudah tenang sekarang. “Apa kamu baik-baik saja? Ini tas ransel kamu, untung masih utuh,” aku mencoba berbicara dengan Zahra. “Makasih banyak ya,” katanya dengan lembut. Tak lupa aku berikan cincinnya yang sempat hilang tadi. “Ini cincin kamu yang hilang tadi. Aku sudah mengambilnya dari bawah lemari,” aku berbicara sambil mengulurkan tanganku. Tapi, saat aku lihat Zahra tersenyum, pandanganku kabur. Tubuhku tidak bisa aku gerakkan. Aku lunglai dan terjatuh. Aku hilang kesadaran.

Saat terbangun, aku sudah diinfus. Badanku terkulai lemas di ranjang. Aku lihat banyak orang mengerumuniku. Di samping kananku ada Ayah dan Ibuku, disamping kiriku Zahra, Paman dan Bibi. Teman-teman yang lain di depanku. Mereka semua tersenyum melihatku. Apa yang telah terjadi? Kenapa semua temanku tampak bersahabat sekarang?

Clara berkata padaku, “Deny, gue minta maaf ya. Selama ini gue udah ngehina lo. Dan gue mau berterima kasih, karena lo udah nolongin gue pas waktu gempa.” Kevin angkat bicara, “sorry, mungkin lo sakit-sakitan gara-gara gue. Tekanan darah lo rendah. Lo juga kena anemia, makanya lo pingsan tadi. Mulai saat ini gue nyadar kalau gue itu salah. Gue bakalan berubah, Den! Gue sangat berterima kasih karena lo udah nyelamatin hidup gue.” Aku benar-benar bingung sekarang. Nikita menembahi, “orang tua lo hebat ya, pejabat kaya raya. Barang-barang yang gue pamerin nggak ada apa-apanya sama punya lo. Kita semua udah tau kalau Paman Atang dan Bi Sumi mantan pembantu rumah lo itu berpura-pura jadi orang tua lo.” Andra juga ikut, “kita semua mau minta maaf sama lo. Kita juga berterima kasih karena lo udah berjuang mati-matian buat nyelamatin nyawa kita semua. Lo juga udah nyelamatin barang-barang gue. Lo emang temen yang paling hebat ya. Meskipun lo sering tertekan di sekolah, tapi hati lo tetep bersih. Gue salut sama lo.”

Hatiku senang karena tak kusangka teman-temanku akhirnya mau menerimaku. Mereka semua tau siapa sebenarnya aku. Kini, kami semua bisa tertawa bersama di kamar rumah sakit ini. Malam yang semakin larut dihangatkan oleh kedekatan kami semua. Suasana semakin ramai ketika orang tua teman-temanku datang menjenguk. Tak tahu kenapa, aku semakin dekat dengan Zahra. Dia lebih perhatian sekarang. Hatiku selalu luluh saat melihat senyum di wajahnya

“Kamu orangnya baik banget ya. Kamu cantik dan lemah lembut. Aku nggak nyangka bisa deket sama kamu. Selama ini kamu kan selalu diam sama aku.” Aku berkata dengan sangat jujur. Zahra menjawab, “makasih banyak. Kamu kan udah nolongin aku terus. Cincin yang sempat hilang tadi adalah pemberian dari almarhum ayahku. Cincin itu sangat berarti bagiku.” Aku tersenyum dan mengatakan bahwa dari dulu aku telah menyukainya. Dia terkesipu malu. Dia berjanji akan menemaniku sampai semampunya. Oh Tuhan, terima kasih.


By: Ryan Kharisma Nurwahyu Riana
Section C